Insan Radio dan Selimut Sejarah
Opini: Arifin BH 
22 Agustus 2010, 14:17:41
suarasurabaya.net| Gedung Negara Grahadi Surabaya menjadi tempat berkumpul para wartawan setiap kali akan pergi mengikuti kunjungan kerja Gubernur Jawa Timur. Dari sana rombongan berangkat secara bersama-sama, dan di sana pula nanti tempat titik akhir sebelum menuju ke kantor untuk membuat laporan ke masing-masing media.
Ini kejadian tahun 1983. Gubernur Jawa Timur pada waktu itu, Soenandar Prijosoedarmo hendak melihat persiapan gerhana matahari total di Tanjung Kodok, pesisir Lamongan. Jam 6 pagi semua sudah ngumpul, kira-kira 10-an wartawan media cetak termasuk seorang reporter RRI-Radio Republik Indonesia.
Biasanya tepat waktu, tapi pagi itu sudah setengah jam lewat belum belum ada tanda-tanda berangkat. Melihat gelagat resah, seorang Staf Humas Pemerintah Daerah Tingkat I (sekarang menjadi Pemprov) mencoba menjelaskan.
“Mohon sabar. Kita menunggu kru TVRI” katanya.
Maklum, itulah tahun-tahun “keemasan” reporter TVRI Stasiun Jawa Timur. Setiap kali ada kegiatan apa saja di pemerintahan, TVRI wajib hadir, bahkan harus ditunggu. Bupati atau Walikota sebelum naik podium selalu bertanya ke stafnya, ”apakah TVRI sudah siap?”. Jika belum, jangan harap acaranya bisa dimulai. TVRI pada zamannya pernah jadi primadona!
Kejadian pagi itu saya tidak menyangka jika reporter RRI tadi tiba-tiba berdiri berkacak pinggang. Suasana hening jadi sedikit tegang lantaran senior saya ini merasa tidak terima atas ucapan staf humas tadi.
“Anda harus tahu. Kalau saja tidak ada radio negara kita belum merdeka” teriak si RRI membandingkan keampuhan radio di zaman revolusi. Keributan menjadi reda setelah, Amak Syarifuddin (wartawan Sinar Harapan) turun tangan.
Pak Nandar, begitu sapaan akrab Gubernur Soenandar Projosoedarmo, figur yang sangat faham tugas, peran dan fungsi media masa. Surat kabar, radio dan kemudian televisi ujung tombak penyebaran informasi. Jadi dalam kondisi apapun, gubernur punya perhatian karenanya.
Perjalanan pulang dari Tanjung Kodok, reporter RRI dan koresponden Sinar Harapan diajaknya naik helikopter. Inilah cara bijak Pak Nandar.
Mayor Jenderal TNI (Purn) Soenandar Prijosoedarmo lahir di Sidoarjo tahun 1924. merupakan Gubernur Jawa Timur ke 9. Banyak keberhasilan pembangunan telah dicapai pada masanya sehingga tidak mengherankan jika ia dapat memimpin Jawa Timur selama 2 periode (1976-1981 dan 1981-1983). Sukses memimpin Jawa Timur menempatkan dia kemudian menjadi Wakil Ketua DPR/MPR di Jakarta. Beliau wafat ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR/MPR saat menjalankan Ibadah haji.
Peran RadioInsan radio seharusnya orang yang paling berbahagia setiap tiba bulan Agustus. Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak lepas dari peran radio, saat dimana untuk kali pertama kemerdekaan dikumandangkan ke seluruh penjuru nusantara. Bahkan seantero dunia lantas mengetahui Republik Indonesia telah lepas dari belengu penjajahan.
Di negara dengan luas wilayah sebesar Indonesia, tentu bukan perkara mudah mengabarkan berita proklamasi ke seluruh penjuru Nusantara pada tahun 1945. Hanya radio lah yang bisa dan sanggup menjangkau seluruh pelosok negeri.
Insan radio menemani bagaimana Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta berjalan tegang melewati detik-detik proklamasi. Kecepatan informasi yang disampaikan radio menjadi penting di hari-hari pasca proklamasi.
Radio pula yang dalam tempo singkat berhasil menggerakkan arek Suroboyo bertempur melawan tentara sekutu pada 10 Nopember 1945. Suara Bung Tomo mengudara di radio, menggelorakan semangat, lalu mendorong pertempuran, kemudian kota ini memperoleh cap sebagai Kota Pahlawan.
Pun radio jadi tumpuan mahasiswa saat berdemo, baik bagi angkatan ’66, gerakan Malari ’74 hingga ketika mahasiswa menurunkan rezim Orde Baru di tahun 1998. Berikutnya masih berderet kesuksesan melibatkan radio. Radio berperan sebagai selimut sejarah bagi negeri ini.
Yakinlah wahai insan radio peranmu sangatlah mulia, kalau enggan disebut punya bobot. Tiada akan berubah sejak kemarin, hari ini dan esok atau lusa. Sekali di udara tetap di udara. Sekali merdeka tetap merdeka. Merdeka Bung! Merdeka Cak! (rif/ipg)
Arifin BH: Wartawan tinggal di Surabaya dan Penulis Buku